KONSEP ILMU DAN DILALAH MENURUT ILMU MANTIQ
KONSEP ILMU DAN DILALAH MENURUT ILMU MANTIQ
A.
Pengertian
Ilmu dan Pembagiannya
Ilmu adalah
pengetahuan suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan.
Sedangkan
menurut pakar mantiq ilmu adalah mengerti dengan yakin atau mendekati
yakin/zhan mengenai sesuatu yang belum diketahui, baik paham itu sesuai dengan
realita atau tidak. [1]
Menurut Prof.
KH. M TaibAbdMu’in, ilmu adalah mengenal sesuatu yang belum dikenal.[2]Sedangkan
Muhammad Nur Al-Ibrahin mengemukakan pengertian ilmu menurut ahli mantiq adalah
pencapaian objek yang belum diketahui dengan cara meyakini atau menduga yang
keadaannya bisa cocok dengan kenyataan atau sebaliknya.[3]
Ilmu ada dua
macam yaitu tasawur dan tashdiq.
1.
Tasawur
adalah hasil yang diusahakan oleh akal pikiran, yang dengan akal pikiran itu
dapat diperoleh atau diketahui hakikat-hakikat yang tunggal atau mufrad.[4]
Tasawur juga dapat diartikan hakikat-hakikat objek tunggal dengan tidak menyertakan
penetapan sesuatu kepadanya atau meniadakan penetapan darinya.
Contoh: Pemahaman terhadap kata Ahmad saja, atau
kata pelajaran saja atau makna kata mahasiswa saja.[5]
2.
Tashdiq
mengetahui hubungan antara kedua mufrad (tasawur) atau memberi atas suatu
hakikat dengan menetapkan sesuatu padanya atau membandingkan kedua tasawur agar
memberi hukum atas keduanya dengan jelas sesuai atau bertentangan.[6]
Tashdiq
dapat juga diartikan hubungan yang
sempurna antara dua objek tunggal atau menghukumi hakikat objek tahu dengan
menetapkan sesuatu kepadanya atau meniadakan penetapan darinya.
Contoh:
Mengerti makna Ahmad adalah mahasiswa, Ahmad adalah pelajar. Predikat mahasiswa
atau pelajar ditetapkan kepada Ahmad; Ahmad menerima penetapan itu.[7]
Dua ilmutadi (tasawurdantashdiq)
dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Badihi
(mudah dimengerti)
Yang dimaksud dengan Badihi adalah pemahaman tentang sesuatu yang
tidak memerlukan pikiran atau penalaran, seperti mengetahui diri merasa lapar
karena terlambat lapar; mengetahui diri merasa dingin karena tidak memakai
jaket.
2.
Nadhari
(yang membutuhkan pemikiran)
Yang
dimaksud dengan Nadhari adalah pemahaman atau ilmu yang memerlukan pemiiran,
penalaran, atau pembahasan, seperti ilmu tentang matematika, gas bumi, kimia,
teknologi, dan lain-lain.[8]
B.
Dilalah
dan Pembagiannya
Dilalah dari segi
bahasa berasal dari bahasa Arab, yakni daala-yadulu-dilalah artinya petunjuk
atau yang menunjukkan. Dalam ilmu mantiq berarti, satu pemahaman yang
dihasilkan dari sesuatu atau hal yang lain. Contoh: seperti adanya asap
di balik bukit, berarti ada api dibawahnya. Dalam hal ini api
disebut madlul (yang ditunjuk/yang diterangkan), adapun asap
disebut dal/dalil (yang menunjukkan/petunjuk). Adapun macam dilalah
sebagai berikut:
1.
Dilalah
Lafdziyah
Merupakan
dilalah atau petunjuk yang berbentuk lafadz atau suara. Macamnya sebagai
berikut:
a.
Dilalah
Lafdziyah Aqliyah, yakni dilalah
yang dibentuk akal.
Contoh:
seperti adanya suara dibalik tembok menunjukkan adanya orang di sana, karena
akal menetapkan bahwa mustahil ada suara orang tanpa ada orang, suara teriakan
di tengah hutan menjadi dilalah (petunjuk) bagi adanya manusia disana, suara
teriakan maling dari sebuah rumah
menjadi dilalah bagi adanya maling yang sedang melakukan pencurian.
b.
Dilalah
Lafdziyah Thabi’iyah,
yakni dilalah bentuk lafadz yang dibentuk/terbentuk secara alami.
Seperti
suara menangis, menunjukkan orang yang sedih, karena secara alami/thabi’i
mustahil orang menangis bila tidak sedih.ketawa terbahak-bahak menjadi dilalah
bagi gembira.
c.
Dilalah
Lafdziyah Wadh’idiyah,
yakni dilalah bentuk lafadz yang dibentuk atau dibuat oleh manusia, seperti
manusia sebagai hewan yang berpikir. Karena mustahil lafadz – lafadz tersebut
terbentuk dengan sendirnya, kalau bukan dibuat oleh manusia.
petunjuk
lafazh (kata) kepada makna (benda) yang disepakati:
orang
sunda, misalnya sepakat menetapkan kata cau menjadi dilalah bagi pisang
orang
jawa sepakat menetapkan kata gedang menjaji dilalah bagi pisang
orang
inggris sepakat menetapkan kata banana menjadi dilalah bagi pisang
2.
Ghair
Lafdziyah
Merupakan
dilalah atau petunjuk yang tidak berbentuk kata lafadz atau suara. Macamnya
sebagai berikut:
a.
Dialalah
Ghairu Lafdziyah Aqliyah,
yakni dilalah yang bukan lafadz dibentuk atau terbentuk oleh akal, seperti
adanya perubahan itu karena alam itu baru (dengan dalil adanya perubahan itu
sendiri karana alam itu berubag, sedangkan tiap yang berubah itu baru),
maksudnya yang menentukan yang demikian itu adalah akal, tetapi tidak dalam
bentuk lafadz.
b.
Dialalah
Ghairu Lafdziyah Thabi’iyah,
yakni dilalah yang bukan lafadz dibentuk/terbentuk secara thabi’i,
seperti merahnya wajah menunjukkan seseorang sedang marah. Maksudnya yang
menentukan demikian bukan akal tetapi tabi’at memang demikian, dan ia bukan
berbentuk lafadz.
c.
Dialalah
Ghairu Lafdziyah Wadh’idiyah,
yakni dilalah yang bukan lafadz yang terbentuk atau dibentuk oleh manusia,
merahnya lampu di pos polisi, menunjukkan dilarang lewat. Maksudnya yang
menentukan demikian bukanlah akal dan bukan tabi’at manusia, tapi ciptaan
sekolompok manusia, karenanya beda wilayah atau negara, bisa berlainan atau
tidak sama.
Adapun
dilalah lafadziyah dari sisi kandungan maknanya, terbagi menjadi tiga yaitu:
1.
Mutabiqiyah yakni dilalah/petunjuk suatu lafadz yang menunjukkan kepada satu
makna yang lengkap, seperti kata rumah hal ini meliputi bagian – bagiannya,
termasuk dinding, atap, pintu, dll
2.
Tadhamumiyah yakni dilalah yang menunjukkan terkadang keseluruhan dan terkadang
sebagiannya, seperti kata rumah terkadang yang ditunjukkan seluruhnya dan
terkadang sebagiannya. Seperti orang berkata: saya sedang memperbaiki rumah,
disini kata rumah bisa berarti dinding saja/atap saja.
3.
Iltizamiyah yakni dilalah atau lafadz yang menunjukkan keluarnya makna suatu
lafadz dari maknanya yang asli, namun terikat dengan kandungan lafadz, seperti
kata daging babi, dimana tetap/telah tercakup makna lemak, daging, tulang, dsb.
[1]Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq: Teknik Dasar
Berpikir Logik (Surabaya: Darul Ulum Press, 1996), h. 9
[2]TaibThahirAbd.Mu’in,
IlmuMantiq (logika) (Jakarta: Widjaya, 1995), hlm. 21.
[3]Sukriadi
Sambas, MantikKaidahBerpikirIslami(Bandung: RemajaRosdakarya, 1996),
hlm. 40.
[4]TaibThahirAbd.Mu’in,
op. cit., hlm. 21
[5]Sukriadi
Sambas, op. cit., hlm. 40.
[6]TaibThahirAbd.Mu’in,op.
cit., hlm. 21
[8]Baihaqi A.K, Op.Cit., h. 11
Komentar